Mei 10, 2014

PLN VS LISTRIK SWASTA

image 


Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan segera Mengeluarkan peraturan agar swasta bisa menjual listrik langsung ke masyarakat.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jarman menyatakan, pada 2018 Indonesia akan mengalami krisis listrik. Hal ini terjadi karena keterbatasan keuangan PLN yang tidak akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan listrik nasional. Oleh sebab itu layanan listrik oleh swasta akan diperbolehkan. Jarman mengatakan: “Kalau konsep IPP, swasta bangun pembangkit, listriknya dibeli PLN. Kita mau buat terobosan, dimana pihak swasta bisa bangun pembangkit, bangun transmisi, lalu jual langsung ke konsumen”.

Rencana pemerintah memberi kesempatan kepada swasta memasuki bisnis pelayanan listrik hingga menjual langsung ke konsumen harus ditolak. Pola tersebut akan merugikan konsumen karena akan membayar biaya pemakaian listrik yang lebih mahal. Selain itu, sesuai Pasal 33 UUD 1945, pelayanan listrik adalah sektor strategis yang menyangkut hajad hidup orang banyak, sehingga harus dikuasai negara melalui BUMN sebagaimana diperankan oleh PLN selama ini. Karena itu, kebijakan pelayanan listrik swasta langsung pada konsumen dapat dianggap sebagai pelanggaran konstitusi.

Pelayanan listrik di Indonesia harus dijalankan berdasarkan monopoli alamiah sebagaimana berlaku di banyak negara di dunia.  Dengan monopoli alamiah, biaya pembangunan sarana menjadi lebih murah karena faktor skala ekonomi (economic of scale). Selain itu, dapat pula ditetapkan penggolongan tarif (sosial, rumah tangga, industri, komersial, pemerintah, dan lain-lain) sesuai kemampuan dan kelayakan, sehingga tercipta mekanisme subsidi silang antarkonsumen.

Pemerintah dan DPR dapat menetapkan tarif dan subsidi yang tepat sasaran dan berkeadilan guna menyejahterakan rakyat, sekaligus menjamin keberlanjutan PLN menyediakan pelayanan.

PLN Jadi Kerdil
Pada 2011, total kapasitas listrik yang dipasok swasta kepada PLN melalui pola independent power producer (IPP) berjumlah sekitar 4 GW. Total kapasitas pembangkit yang dimiliki/pasok PLN sekitar 30 GW. Sementara total biaya yang ditanggung PLN sebesar Rp 206 triliun, dimana terdapat pembayaran kepada IPP Rp 30 triliun. Artinya, hanya untuk 13% pasokan PLN harus membayar 16% biaya operasi kepada IPP. Dalam hal ini, PLN harus membeli listrik IPP yang lebih tinggi sesuai harga keekonomian.


Sementara PLN harus menjual sesuai biaya pokok penyediaan (BPP) dengan margin rendah dan menanggung biaya sarana transmisi/distribusi seluruh Indonesia. Pola seperti ini jelas selalu menguntungkan IPP dan merugikan PLN.  Keuntungan yang diperoleh swasta yang memberi layanan langsung minimal akan sama seperti yang dinikmati IPP saat ini karena boleh menjual listrik sesuai harga keekonomian.

Margin keuntungan “pasti” yang ditetapkan bagi swasta lebih tinggi dibanding margin yang ditetapkan pemerintah bagi PLN selama ini. Akibatnya, tarif listrik yang akan dibayar konsumen kepada swasta layanan langsung pasti akan menjadi lebih tinggi dibanding jika memperoleh listrik dari PLN.

Selain hal di atas, perusahaan swasta pun akan diberi kesempatan oleh pemerintah untuk melayani wilayah dan golongan konsumen yang lebih menguntungkan secara bisnis. Akibatnya, PLN harus melayani konsumen golongan yang lebih rendah dan wilayah-wilayah yang kurang menguntungkan secara bisnis. Kondisi ini, di samping mengurangi kesempatan terjadinya subsidi silang antarkonsumen, juga membuat beban biaya PLN menjadi lebih tinggi.

Ujung-ujungnya, PLN akan menjadi kerdil dan lambat laun bisa mati, atau sekarat seperti TVRI yang telah direkayasa dengan “canggih” sehingga bisnisnya secara perlahan digerogoti oleh swasta dan sekarang hanya bisa hidup dari subsidi.

Kemampuan dan kapasitas swasta nasional sektor listrik yang padat modal dan teknologi memang masih belum memadai. Oleh sebab itu, jika layanan langsung oleh swasta dibuka oleh pemerintah, maka dominasi asing di sektor listrik nasional potensial terjadi. Sebelum terlambat, kita harusnya belajar dari Filipina yang telah membuka sektor listrik panas buminya kepada investor asing, yang akhirnya saat ini justru telah didominasi asing.

Penguasaan asing di sektor migas dan mineral sudah demikian besar. Begitu pula di sektor keuangan, asuransi, dan telekomunikasi. Jika rencana layanan langsung listrik swasta terlaksana, maka asing pun akan mendominasi, terutama dengan adanya pola feed-in tariff dan rencana pemberlakuan tarif untuk EBT jauh di atas BPP PLN. Saat ini
BPP PLN sekitar Rp 1200/kWh.

Ada rencana, pemerintah akan memberlakukan tarif IPP panas bumi, biomassa dan tenaga surya berkisar antara Rp 1600 – Rp 2000/kWh. Jika jadi diberlakukan maka beban keuangan PLN akan semakin berat dan subsidi listrik pun meningkat. Artinya, secara tidak langsung perusahaan-perusahaan IPP/asing tersebut akan menikmati subsidi APBN.

Pemerintah ditengarai sedang merancang aturan yang lebih proinvestor dan terpengaruh broker dengan alasan PLN tidak mampu. Pemerintah membolehkan IPP menggunakan tarif keekonomian. Pemerintah pun mewajibkan PLN menyerap listrik IPP berharga tinggi. Sementara margin keuntungan PLN dibuat rendah dan kenaikan tarifnya (TTL) dibatasi. Akibatnya, ruang fiskal PLN terbatas, kemampuan membangun sarana listrik menjadi terbatas. 

Kebijakan yang diduga akan mengerdilkan BUMN, terpengaruh broker dan pro-swasta ini bertentangan dengan konstitusi dan kepentingan negara. Akibatnya, kita akan semakin tergantung asing dan harus dibayar rakyat dengan biaya lsitrik yang semakin mahal. Pembangunan listrik era Orde Baru memaksa PLN membeli listrik IPP dengan harga sangat tinggi dari proyek-proyek yang di-mark-up dan sarat KKN telah membangkrutkan PLN.

Kesalahanan ini jangan diulang. Karena itu, sekali lagi, kita meminta pemerintah untuk segera menghentikan rencana layanan listrik swasta, dan berhenti membuat peraturan yang lebih mementingkan investor.

Non-listed Public Company Solusi yang seharusnya diambil guna memenuhi kebutuhan listrik nasional yang terus naik adalah memperkuat dominasi dan monopoli alamiah PLN melalui penerbitan peraturan yang konsisten dengan Pasal 33 UUD. Tarif listrik perlu disesuaikan secara adil dan tepat sasaran, sembari meningkatkan margin keuntungan yang lebih besar dan layak bagi PLN. Pemerintah harus menjamin kredit proyekproyek PLN. Dengan begitu, secara korporasi PLN akan survive dan pada saat bersamaan dapat membangun sarana dan pelayanan yang dibutuhkan rakyat.

Tak bisa dipungkiri bahwa secara internal PLN masih mempunyai masalah governance dan inefisiensi, serta dugaan KKN yang melibatkan pihak-pihak eksternal dan oknum penguasa. PLN pun “terpaksa” membeli energi primer yang lebih mahal. Namun, hal tersebut tak lepas dari sikap pemerintah yang terkesan tidak tegas dan berkomitmen rendah, padahal merekalah yang berwenang untuk mengendalikan PLN. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memperbaiki aspek governance adalah menjadikan PLN sebagai non-listed public company.

Marwan Batubara
Direktur eksekutif Indonesian Resourcess
Studies (Iress)
http://www.investor.co.id/opini/pln-vs-layanan-listrik-swasta/83843





0 komentar:

Posting Komentar

 

vitra's:noktahminor Template by Ipietoon Cute Blog Design