Desember 24, 2012

26 Desember

In year of Eleven
And the wounded is still felt on my heart
In year of Eleven
And I know they were not here anymore
I can not guess how they are or where they are and what are they doing now
Somewhere between dunya and death
A place we called Barzah
 

I really do not know exactly
Sometimes when this miss makes hurt
And the tears fall from my eyes
The tears from a heart can't express

So
I will pray
Because only through prayer I could meet you
again

#8YearsOfTsunami
#vaglin



Masih segar dalam ingatan, dan aku bisa menggambarkan kepadamu sedetail-detailnya tentang apa yang terjadi hari itu. Hari yang sudah mengubah haluan hidupku dan menjadikanku seperti sekarang ini.
26 Desember 2004, saat itu aku masih menyandang status siswi kelas 3 disalah satu sekolah menengah pertama di kota kecil Meulaboh yang tidak seberapa itu. SMP Negeri 1 yang menjadi Ikon sekolah favorit dikotaku.
26 Desember 2004 terhitung 7 hari setelah Ayah meninggalkan aku, ibu, dan adikku
26 Desember 2004 sehari sebelum ujian semester pertama untuk tingkat 3
dan 26 Desember 2004 adalah hari dimana Tsunami berkenalan dengan kotaku dan menghempas menumpah ruahkan isi samudera hindia ke daratan kota kecilku yang tidak seberapa itu.

Pagi minggu usai salat subuh aku masih tertidur di kamar tengah (kamarku), bergelung bersama selimut. Sementara kesibukan mulai terjadi dirumahku yang masih berantakan, piring-piring yang dicuci, lantai yang sapuh,menurunkan piring dan gelas, menata wadah tempat sarapan, rumahku sangat ramai. Terdengar Honda (sebutan sepeda motor dikotaku) dinyalakan dan sesaat teredam dengan suara mobil yang mendadak hidup untukdipanaskan mesinnya. Aku mengerjap membuka mata, mencoba untuk bangkit dari tidurku yang memang sudah tidak pernah terasa nyenyak lagi seminggu terakhir itu. Aku duduk di tepi tempat tidur, menarik nafas dan menghembuskannya kuat-kuat, menekan jari2 pada kedua mataku, aku masih tidak mempercayai Ayah sudah tiada..

Aku bangun bergegas membereskan apa yang bisa dibereskan, membantu apa yang bisa dibantu. Rumahku dipenuhi oleh saudara-saudaraku baik dari sebelah ayah maupun keluarga dari mama, sebagian dari mereka datang dari kampung, ya hari itu adalah hari ke-7. hari terakhir bagi kami yang ditinggalkan untuk bersedih. Beberapa kali mondar mandir aku memutuskan untuk melihat mama dikamarnya. Mama duduk diatas tempat tidur dengan pandangannya yang dilempar jauh ke arah jendela. Disebelahnya ada nek cut (adik nenekku) yang sedang menyuapi sarapan. Aku kembali ke dapur dan sudah mengambil piring utk sarapan ketika tiba2 aku merasa pusing. Dan guncangan itu menghebat. Semua orang panik menyebut nama Allah. sesekali terdengar mereka berteriak 'GEMPA'. semuanya riuh, ribut dan berhamburan keluar. aku berdiri dengan menyangga tubuhku didinding yang mengayun kuat. aku melihat mama dibopong keluar, lampu gantung diruang tamu bergoyang kencang, piring dan gelas dimeja berjatuhan, lemari yang menghantam lantai, kipas angin yang patah, foto-foto di didinding saling berlomba membentur kebawah. kacau!benar2 kacau. Allah, ini kah kiamat? - aku bercetus didalam hati.

Entah bagaimana aku mencapai pintu luar, semua orang sibuk meneriaki aku untuk bergegas. aku terseok sambil memakai kerudung tua milik nenekku. aku membaringkan diri diaspal. Ayunan yang kencang, begitulah rasanya. aku memejamkan mata, dan mencari ritmenya. dzikir kepada Allah tak putus. aku memohon semoga ini berakhir, karena goncangan itu rasanya seperti tak berkesudahan.

Entah berapa lama sebelum gempa itu akhirnya berhenti. sanak saudara sibuk ketakutan, mencari informasi disana sini. Dan aku, berlari kekamar. sesuatu dalam pikiranku berkata, Selamatkan yang penting. Sesuatu yang besar akan terjadi hari ini. kurang dari 20 menit kemudian, tibalah keputusasaan itu. orang2 dari segala penjuru berhamburan berlarian, anak-anak kecil menangis, orang dewasa yang panik. AIR LAUT SUDAH NAIK. aku gemetar. seluruh keluarga bergegas menaiki mobil. Kita harus mengungsi - itu intruksinya. maka hari bersejarah itupun tiba. kemacetan disana sini, orang-orang berdesakan. semuanya sendiri-sendiri. anak terlepas dari orang tua, suami terpisah dari istri. takbir dimana-mana, dan aku tersudut diatas mobil pick up dengan ransel dipunggung dan dua orang sepupu kecil dipangkuanku. mereka erat memelukku. aku senandungkan asma Allah disela isak tertahan dan terus berdoa didalam hati, Allah selamatkan kami.

Tsunami, 26 Desember 2004. sejak hari itu kehidupan kami - orang Aceh- berubah. khususnya aku. diriku. kehidupan ku benar2 berputar 180 derajat. aku bukanlah lagi seorang remaja yang baru menjadi yatim bersama ibu dan adiknya. saat itu ratus ribuan anak di sana berstatus sama denganku. bahkan mereka tidak hanya kehilangan ayah tetapi juga kehilangan ibu. dan mereka para ibu seketika menjadi janda, dan para ayah menjadi duda. berkumpul bersama didalam satu tenda pengungsian. tak tahu kemana arah dan tujuan.

Meulaboh, kota kecil di pantai barat Sumatera, telah mati dan gelap terendam lumpur dan belerang. Meulaboh, kota kecil yang tenang, menjadi bisu bersama kegelapan. 2 Bulan sebelum akhirnya kami bisa kembali kesana. Februari 2005 aku berdiri di bibir pantai, menatap kearah sekolahku SMP Negeri 1 yang kubanggakan kini tinggal puing dan kenangan. Aku kehilangan banyak.dan begitu juga mereka. Namun, dibalik semua ini aku tahu Tuhan punya rencana. Tuhan tahu yang apa yang terbaik sedangkan manusia tidak. Kadang aku sering menghabiskan waktu sendiri, tenggelam bersama kenangannya. Dan saat itu aku berdoa. Seperti hari ini ketika aku merindukan kalian, aku berdoa. Semoga dikehidupan setelah dunia ini kita bisa berkumpul bersama. I do miss you.

1 komentar:

 

vitra's:noktahminor Template by Ipietoon Cute Blog Design